Rabu, 20 Juni 2012

Perbankan Mikro dan Bunga Kreditnya

Dunia Perbankan nampaknya mulai serius menggarap sektor mikro dan menengah, hal ini ditandai dengan makin banyaknya perbankan yang masuk kesektor ini, baik bank yang sudah lama maupun bank-bank baru. Salah satu bank baru yang memfokuskan diri masuk ke sektor mikro dan menengah adalah Bank Sahabat Sampoerna, bank milik Michael Sampoerna ini dalam soft launchingnya (Rabo, 9/5/2012) memproklamirkan diri sebagai bank yang akan fokus di sektor kecil dan menengah (UMKM).
Makin banyak bank-bank yang melakukan penetrasi di pasar mikro dan menengah tentu menjadi berkah tersendiri bagi pelaku usaha di sektor ini, harapannya akses untuk mendapatkan permodalan menjadi semakin mudah. Bank yang terjun di pembiayaan mikro juga menawarkan kecepatan dalam proses kreditnya, analsisa kredit 5 C diperas menjadi 3 C. Seperti kita ketahui keluhan pelaku UMKM adalah sulitnya mendapatkan akses menambah modal. Kini bank mulai membuka diri untuk membiayai sektor kecil dan menengah, selesaikah masalahnya? Ternyata tidak. Ketika bank masuk ke sektor mikro ini, ternyata bank menilai bahwa sektor ini masih punya resiko kredit yang besar, sehingga bank perlu menutup resiko itu dengan bunga bank yang tinggi. Disamping karena beban operasional untuk lebih banyak membuka cabang atau unit baru untuk lebih dekat dengan pasar mikro.
Salah satu alasan bank bank masuk kesektor mikro dan menengah adalah karena di sektor ini menjanjikan margin yang besar, hal ini karena suku bunga yang tinggi, hampir semua bank yang menjual produk di sektor ini melempar bunganya di atas 20 % pertahun, dengan sistem perhitungan bunga flat tentu bank bank akan lebih diuntungkan. Faktor yang sering menjadi alasan kenapa bunga tinggi adalah karena resiko yang tinggi. Namun bank seharusnya mulai berfikir bagaimana sektor mikro ini menjadi sektor yang rendah secara resiko kreditnya. Bank sebenarnya sudah sangat faham terhadap karakteristik pelaku usaha mikro. Sebagaimana kita ketahui pelaku usaha di sektor ini sering dicirikan dengan antara lain: Perputaran usaha relative cepat, kurang mempunyai perencanaan yang formal, hambatan untuk masuk sekto ini nyaris tidak ada, tidak ada pembukuan keuangan yg baku, dsb. Artinya identifikasi masalah sektor sudah jelas, tinggal bagaimana mitigasinya untuk meminimalkan resiko yang ada.
Salah satu yang bisa dilakukan bank untuk membantu “menghilangkan” resiko di sektor ini adalah ikut terjun secara langsung memberi konsultasi kepada pelaku-pelaku mikro mengenai usaha yang dijalankanya, membantu mengembangkan produknya dan pasarnya. Sektor ini memang perlu dibiayai namun juga pendampingan terhadap sektor ini tidak kalah pentingnya. Mungkin kita sering mendengar pihak bank pasca mengucurkan kreditnya ke debitur mikro, pihak bank “menghilang” dan akan “muncul” lagi ketika mengingatkan jatuh tempo angsuran. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi, bank seharusnya tidak hanya memastikan debiturnya membayar, akan tetapi bank juga harus memastikan usaha debitur berjalan lebih baik pasca dibiayai oleh bank, dengan cara memberi konsultasi dan pendampingan terhadap usahanya. Kedekatan emosional antara Bank dan debitur akan terbangun ketika hal ini terjadi.
Akhirnya kita ingin jargon memberdayakan UKM tidak hanya menjadi jargon semata dan basa basi, tapi juga menjadi nyata. Kita semuanya berharap semakin banyak sektor UKM yang dibiayai oleh perbankan, agar pelaku-pelaku usaha di sektor ini makin berdaya, dan tentu dengan bunga yang rendah dan masuk akal (semoga), karena akan semakin menyulitkan kalau marjin usaha sektor mikro habis digerus untuk membayar angsuran bank. Mustahilkah bunga kredit mikro rendah? Tidak! Bagaimana caranya? Tentu pihak bank yang lebih tahu bagaimana caranya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar